Pada akhir Januari 2004, aku dan pacarku (Michael) menonton film Lord Of
The Ring 3 di sebuah mall besar di Jakarta Barat. Film dimulai sekitar
jam 4 sore.
Karena keberuntungan saja, kami dapat tiket pada kursi deretan paling
atas (berkat mengantri 5 jam sebelumnya) walau berada di hampir pojok
kanan. Film ini sangat digandrungi anak-anak muda saat itu, jadi kami
perlu memesannya jauh sebelum film dimulai.
Aku sebenarnya kurang begitu suka film seperti ini namun karena pacarku
terus membujuk, akhirnya aku ikut saja. Lagipula aku merasa tidak rugi
berada di dalam bioskop selama 3 jam lebih karena memang selama itulah
durasi film tersebut.
Setelah duduk di dalam bioskop, kami membuka ‘perbekalan’ kami
(berhubung selama 3 jam ke depan kami akan terpaku di depan layar). Aku
mengeluarkan popcorn dan minuman yang telah kami beli di luar.
Michael duduk di sebelah kiriku. Dua bangku paling pojok di sebelah
kananku masih kosong. Beberapa menit kemudian, trailer film-film sudah
mulai diputar. Menjelang film Lord Of The Ring dimulai, seorang pria
bersama pacarnya duduk di sebelah kananku. Aku hanya dapat melihatnya
samar-samar karena suasana di dalam ruangan itu sangat gelap.
Pria itu duduk tepat di sebelah kananku dan pacarnya di sebelah kanan
pria itu. Mereka pun mengeluarkan makanan dan minuman untuk disantap
selama film diputar.
Sepuluh menit berlalu setelah film tersebut berjalan. Aku sekilas
melihat pria di sebelahku menaruh tangan kirinya di alas lengan di
antara kursi kami berdua. Sedangkan tangan kanannya menggenggam tangan
pacarnya.
Ia mengenakan sebuah cincin dengan hiasan batu cincin besar yang sangat
mencolok di jari tengah tangan kirinya. Dan di jari manisnya ia
mengenakan sebuah cincin yang sangat sederhana. Menurut analisaku pria
ini telah menikah. Selain dari cincin yang kuduga adalah cincin
pernikahan, aku juga melihat sekilas wajah pria itu.
Kulitnya lebih hitam dari kulitku yang putih (aku dari keturunan
chinese). Dari wajahnya aku memperkirakan umurnya sekitar 35-an. Akan
tetapi aku tidak sempat melihat wanita yang datang bersamanya
(istrinya?). Pikiranku menduga-duga apakah pria ini sedang berselingkuh
dengan wanita lain. Namun segera aku tepis pikiran itu dan mengatakan
pada diriku sendiri bahwa pria itu sedang bersama istrinya dan tidak
perlu aku berprasangka buruk terhadap mereka.
Aku kembali berkonsentrasi pada film di layar di hadapanku sambil
menikmati kudapan. Sesekali Michael juga meraup popcorn yang kupegangi
itu. Michael begitu serius menonton. Memang ia sangat menyukai film yang
merupakan akhir dari 2 seri sebelumnya. Setengah jam kemudian, semua
makanan dan minuman yang kami beli tadi sudah habis.
Boleh dikatakan film itu sangat tegang. Dengan adegan perang yang sangat
seru, mataku mau tidak mau terpaku pada layar. Pada satu adegan yang
mengejutkan, aku sampai terlonjak dan berteriak. Michael meraih tangan
kiriku dan menggenggamnya dengan lembut. Aku pun semakin mendekatkan
diri padanya karena memang pada dasarnya aku takut menonton adegan
perang.
Dari ujung mataku, aku merasakan pria di sebelahku memandangi kami (atau
aku?). Karena pria itu hanya sebentar saja memandangi kami, aku tak
menggubrisnya. Akan tetapi makin lama, pria itu semakin sering dan
semakin lama memandangi kami. Aku menyempatkan diri untuk melirik ke
arahnya dan benar dugaanku bahwa pria itu memang memandangi kami, atau
lebih tepatnya ia memandangi aku.
Walau merasa risih, aku memutuskan untuk mengacuhkan pria itu. Untunglah
film itu terus menerus mengetengahkan adegan-adegan yang seru sehingga
aku dapat dengan mudah melupakan pria itu.
Film telah berlangsung hampir setengahnya. Michael berkata bahwa ia
ingin buang air kecil. Dalam gelap, ia meninggalkanku (kebetulan film
bukan sedang adegan yang seru).
Setelah Michael hilang dari pandanganku, tiba-tiba pria itu menepuk
lenganku dan berkata, “Sudah baca bukunya?”
Aku terlonjak karena kaget tiba-tiba diajak ngobrol seperti itu di
tengah pemutaran film. Seingatku aku tidak pernah berbicara dengan orang
asing di dalam bioskop (apalagi saat film sedang berlangsung).
Aku mengira-ngira apa yang dimaksud dengan pertanyaan pria itu. Aku rasa
ia menanyakan tentang buku Lord Of The Ring 3. Aku menjawab singkat,
“Belum.”
Entah mengapa jantungku jadi berdebar kencang. Ada perasaan aneh yang
menyelimuti hatiku. Campuran antara kaget, curiga, penasaran dan… takut.
Dari awal berbicara denganku, pria itu menatap mataku dalam-dalam
seperti sedang membaca pikiran dalam benakku.
“Sayang sekali. Baca dulu deh, baru bisa lebih menikmati filmnya,” pria
itu menyanggah dengan suara yang dalam namun pelan.
Setelah itu ia kembali menatap ke depan dan meneruskan menonton. Aku
ditinggalkan dalam perasaan yang tidak menentu dan agak kosong. Anehnya
aku merasa seperti ingin menangis. Pada saat itulah Michael kembali.
Aku tidak menceritakan kejadian aneh itu kepadanya. Mungkin karena aku
tidak ingin mengganggu kenikmatannya menonton film itu. Tapi alasan yang
lebih menonjol adalah timbulnya rasa takut untuk menceritakannya kepada
pacarku saat itu.
Aku berusaha untuk menonton lagi walau pikiranku terus melayang ke sana
kemari. Ketika pikiranku berputar-putar tak tentu arah, tiba-tiba aku
merasakan ada yang menyentuh pundak kananku.
Awalnya aku mengira Michael yang menyentuhnya. Tetapi setelah
kuperhatikan, ia sama sekali tidak bergerak (ia masih serius
memperhatikan layar bioskop).
Aku melihat ke belakangku. Tidak ada apa-apa karena memang kami duduk di
baris paling belakang. Aku melihat ke sebelah kananku dan mendapati
pria itu sedang menonton dengan asik bersama istrinya.
Setelah lelah mencari-cari, aku kembali menonton. Dalam hati aku masih
mencari-cari apa yang menyentuh pundakku itu. Tadi aku benar-benar
merasakan sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku yakin benar. Namun aku
jadi bingung karena tidak melihat adanya orang lain di sekitarku yang
mungkin melakukannya.
Kepalaku menjadi pusing dan berputar. Aku merasa mual dan tidak enak
badan. Aku menutup mataku untuk menenangkan pikiranku. Beberapa detik
kemudian, aku merasakan diriku seperti sedang mengapung di air yang
sejuk dan tenang. Semua perasaan tak enak tadi sekonyong-konyong lenyap
begitu saja dan digantikan dengan perasaan nyaman dan santai.
Mataku masih terpejam pada saat aku kembali merasakan sebuah tangan
menjamah pundak kananku. Aku berusaha untuk tetap tenang. Aku melirik ke
pria di kananku. Ia duduk berdempetan dengan istrinya. Pria itu sedang
merangkul pundak istrinya.
Kecurigaanku padanya langsung hilang begitu mengetahui ia tidak sedang
berada dekat dengan tubuhku. Aku menengok ke Michael dan juga mendapati
ia sedang asyik menonton. Dengan adanya perasaan sebuah tangan sedang
merangkul pundakku, aku meneruskan menonton sambil mencoba untuk tidak
memikirkan hal itu. Usahaku sia-sia.
‘Tangan’ di pundak kananku bergerak-gerak ke atas dan ke bawah seperti
sedang mengusap-usap lembut tubuhku. Kemudian aku merasakan ada angin
hangat berhembus perlahan meniup bagian kiri leherku.
Aku langsung menengok ke arah datangnya angin itu. Tidak ada apa-apa.
Michael sedang duduk melipat tangan di depan dadanya sambil bersilang
kaki.
Belum sempat aku berpikir lebih jauh, aku merasakan leherku dijilat. Ya,
aku benar-benar merasakan sebuah lidah yang hangat dan basah menyapu
leherku itu. Bulu kudukku spontan meremang.
Langsung aku menengok lagi sambil mengusap leherku pada bekas jilatan
itu. Kering. Tidak basah sama sekali. Dan tidak ada apa-apa di
sampingku.
Michael rupanya agak terganggu dengan kegelisahanku. Dia menanyakan ada
apa. Aku tidak memberitahukannya. Aku menyuruhnya untuk kembali
menonton.
Michael kembali menonton. Ia menggenggam tangan kiriku dan mendekatkan
tubuhnya sehingga lengan kanannya menempel dengan lengan kiriku. Aku
masih merasakan pundak kananku dirangkul oleh ‘tangan’ yang tak nampak.
Dalam posisi yang lebih dekat dengan pacarku, aku bisa menjadi lebih
tenang. Namun perasaan tenang itu hanya sebentar.
Kuping kiriku dikecup dengan lembut. Aku menengok ke kiri. Tetap saja
tidak ada apa-apa selain Michael yang sedang menatap serius layar di
depan.
Aku mulai panik. Jangan-jangan ada mahluk halus di dalam bioskop itu,
pikirku. Aku merasakan kembali kecupan itu. Mulai dari telingaku lalu
bergerak ke bagian belakangnya.
Pada saat kecupan itu menghampiri belakang telingaku, darahku mendesir
dengan kuat. Jantungku berdebar. Hanya Michael (dan diriku tentunya)
yang tahu bahwa belakang telinga merupakan titik erogenku (erogen =
daerah pada tubuh yang sensitif terhadap rangsangan sexual).
Aku melepaskan nafas yang panjang melalui mulutku sambil mengubah posisi
duduk. Michael melihat perubahan pada diriku. Tentu ia mengira aku
bosan karena setelah itu ia mengusap-usap tanganku yang digenggamnya.
Entah apa yang sedang terjadi pada diriku. Hanya karena Michael
mengusap-usapkan jari-jarinya di tanganku, aku menjadi terangsang. Hal
seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Walau kami sudah berpacaran
lebih dari setahun, aku tidak pernah berbuat jauh selama berpacaran
dengan Michael. Tidak pernah melebihi ciuman di kening, pipi dan bibir.
Aku tahu sebenarnya diriku tergolong gadis yang tidak tertarik akan
hal-hal yang berbau sex, boleh dibilang: frigid.
Baru akhir-akhir ini saja aku mulai melayani Michael dengan tanganku.
Pertama kali memegang penisnya, aku merasa risih dan agak jijik. Namun
setelah melakukannya dua atau tiga kali, aku dapat mengatasi perasaan
tersebut.
Hal yang paling menarik dalam memberi Michael ‘hand-job’ adalah pada
saat dirinya berejakulasi. Melihat dirinya mengejang-ngejang sangatlah
menarik dan sexy. Juga sebelumnya aku tidak pernah membayangkan seorang
pria dapat menyemprotkan cairan seperti itu.
Michael pernah memintaku untuk menghisap kemaluannya. Tentu saja aku
tolak. Dan untunglah sampai saat ini ia tidak pernah memintanya lagi.
Michael juga tidak pernah menjamah tubuhku. Sentuhan-sentuhannya paling
hanya berkisar pada lengan dan wajahku. Aku tidak akan mengijinkannya
menjamah dadaku terlebih lagi kemaluanku, dan ia tahu itu. Aku takut
kami tidak dapat mengendalikan diri sehingga akhirnya kami kebobolan.
Aku ingin agar hubungan sex kami dilakukan pada malam pertama yang
sakral. Singkat kata, kami menerapkan sistem berpacaran yang ketat dan
konservatif. Sampai saat ini aku masih perawan dan begitu pula Michael
(setidaknya ia mengaku demikian). Michael merupakan pacar pertamaku
sedangkan Michael sebelumnya sudah pernah satu kali berpacaran. Jadi
saat itu adalah pertama kalinya aku mendapatkan ‘kecupan’ di belakang
kuping. Michael pernah menyentuhnya dengan ujung jarinya dan itu saja
sudah membuatku berdebar.
Aku tidak dapat berpikir banyak. Biasanya aku dapat mengatasi dorongan
sexualku namun saat itu aku seakan jatuh ke dalam aliran sungai birahi
yang deras dan hanyut terbawa arusnya.
Jantungku serasa akan mau copot pada saat kecupan itu bergerak turun ke
leherku. Aku mengerang sedikit karena saat sadar apa yang kuperbuat, aku
segera menghentikan eranganku. Michael tidak mendengar eranganku tadi.
Aku menoleh ke kanan untuk melihat apakah pria itu mendengar eranganku
tadi. Rupanya pria itu sedang mencumbu istrinya. Bagus, pikirku. Dengan
demikian ia tidak akan melihat atau mendengarkan diriku.
Sebenarnya aku agak risih berada di samping pria yang sedang mencumbu
istrinya itu. Walau demikian aku mencuri-curi pandang ke arah pria itu
untuk melihat apa yang sedang dilakukannya. Lewat ujung mataku,
diam-diam aku memperhatikan sepasang insan yang sedang bercumbu itu.
Pria itu sedang menciumi leher istrinya. Tangan kanannya dirangkulkannya
ke pundak istrinya. Istrinya terlihat sangat menikmati.
Saat tangan kiri pria itu memegang lengan kiri istrinya, aku juga
merasakan ada sebuah tangan menyentuh bagian atas lengan kiriku. Aku
kaget memikirkan kemungkinan yang terjadi saat itu. Tangan kiri pria itu
menggenggam erat lengan kanan istrinya. Genggaman pada lengan kananku
juga bertambah. Kecurigaanku semakin kuat.
Entah bagaimana, semua perbuatan pria itu pada istrinya juga dirasakan
oleh tubuhku. Aku sangat takut. Memikirkan kemungkinan yang dapat
terjadi kemudian, jantungku seperti berhenti berdetak.
Perasaan pusing dan berputar itu kembali muncul seiring dengan usahaku
untuk ‘membebaskan diri’. Semakin aku berusaha, kepalaku semakin sakit.
Akhirnya aku menyerah dan tidak memberikan perlawanan lagi. Aku
membiarkan semua ‘perasaan’ yang muncul saat itu.
Pria itu menarik wajah istrinya mendekat lalu memagut bibirnya. Pagutan
mulut pria itu pada istrinya terasa jelas pada bibir mulutku. Setiap
sentuhan, tekanan serta usapan bibir dan lidah pria itu semua kurasakan
pada bibir dan mulutku. Aku menutup mulutku rapat-rapat namun masih saja
merasakan pagutan yang kian memanas.
Aku tahu lidah pria itu sedang bermain-main dengan lidah istrinya karena
lidahku pun merasakan sensasi itu. Mendapati diriku menikmati semua itu
membuat malu diriku. Aku belum pernah merasakan kenikmatan seperti ini
pada saat berciuman dengan Michael.
Setelah pria itu melepaskan mulutnya dari bibir istrinya, wanita itu
tampak terengah-engah. Sialnya, aku pun mengalami hal yang sama. Dadaku
naik turun terengah-engah, seperti baru selesai berlari.
Untunglah sampai saat itu, baik pria itu maupun Michael tidak
memperhatikan diriku. Lalu pemikiran itu muncul. Jangan-jangan pria di
sebelahku itu memang sedang mengguna-gunai aku dengan pelet, hipnotis,
guna-guna atau hal-hal lain yang sejenisnya. Jika benar demikian,
berarti seharusnya ia tahu apa yang sedang terjadi pada diriku.
Aku teringat perkataan pendetaku di gereja, bahwa orang beriman tidak
bisa kena guna-guna atau pelet. Hatiku mencelos. Sudah sekian lama aku
tidak beribadah kepada Tuhan. Seharusnya dua minggu lalu, aku menerima
ajakan temanku untuk ke gereja bersamanya. Namun aku malah pergi
bersenang-senang ke mall.
Penyesalanku menguap dengan cepat pada saat aku merasakan payudaraku
‘dijamah’. Jamahan itu tidak terlalu terasa. Aku melirik ke kanan. Pria
itu sedang menggerayangi dada istrinya.
Untungnya aku tidak terlalu merasakan apa-apa pada saat itu. Belum
pernah aku disentuh oleh orang lain pada daerah dadaku. Boleh dikatakan
saat itu merupakan pertama kalinya aku merasakan sentuhan (walau secara
tak langsung) pada payudaraku. Dan rupanya tidak senikmat seperti yang
kudengar dari omongan orang.
Akan tetapi aku harus segera meralat pendapatku itu. Pria itu memasukkan
tangannya ke dalam kemeja istrinya. Tangannya hilang di balik kemeja
tersebut sehingga aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.
Detik berikutnya sungguh membuatku melambung tinggi. Aku merasakan
dengan sangat jelas, jari-jari pria itu memuntir lembut puting susu
istrinya. Aku memejamkan mataku sambil mengatur nafasku yang mulai tak
teratur karena secara tak langsung aku pun merasakan jemari pria itu
menari-nari pada payudara dan puting susuku.
Sejenak aku merasa jijik pada pria itu tetapi setelah beberapa saat
perasaan yang tinggal hanyalah birahi semata. Selama ini aku mengira
bahwa aku tidak akan pernah menikmati hal-hal sexual seperti ini.
Sekarang aku merasakan yang sebaliknya.
Pilinan jari-jari pria itu membuat darahku lebih menggelegak dibanding
sensasi dari ciuman di belakang telingaku. Aku tidak pernah menyadari
bahwa payudaraku (terutama putingnya) sangat sensitif. Sejak saat itu
aku baru tahu bahwa daerah payudara juga merupakan titik erogen pada
tubuhku.
Belum sempat aku mengikuti pacu detak jantungku, aku merasakan pria itu
menyentuh bagian dalam paha istrinya. Kemudian pria itu mengusap
kemaluan istrinya. Usapannya terasa seperti terhalang sesuatu (yang
akhirnya kutahu bahwa ia mengusap kemaluan istrinya yang masih tertutup
celana dalam).
Aku membuka mataku dan menoleh sedikit ke arah pria itu untuk melihat
apa yang sedang dilakukannya. Dengan tangan kanannya, ia memain-mainkan
payudara istrinya dan tangan kirinya merogoh selangkangan istrinya. Saat
itulah aku dapat dengan lebih jelas melihat istrinya.
Wanita itu sangat cantik (jauh lebih cantik dariku). Bila ia mengaku
dirinya artis dengan mudah aku akan percaya. Kulitnya sedikit lebih
putih dibanding suaminya namun masih lebih gelap dari kulitku. Rambutnya
panjang agak ikal. Dari wajahnya ia terlihat begitu menikmati
sentuhan-sentuhan suaminya (yang secara tak langsung juga kunikmati). Ia
mengenakan kemeja yang sudah terbuka kancing-kancingnya dan memakai rok
pendek.
Kemudian dari balik celana jeans yang kukenakan saat itu, aku merasakan
sebuah jari (yang sangat panjang) mengusap sekujur bibir kemaluanku.
Usapan itu terasa begitu panjang dan lama. Aku sempat menggigil karena
terjangan sensasi yang menghambur dari selangkanganku menyebar dengan
cepat ke seluruh tubuh.
Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri dan berlari meninggalkan
bioskop itu. Aku tidak mengatakan apa-apa pada Michael. Lagipula ia
sedang asik menonton (waktu itu sedang adegan perang yang terakhir).
Aku melompati dua anak tangga sekaligus untuk keluar dari ruangan itu.
Aku bergegas menuju WC berharap semua sensasi pada tubuhku dapat hilang
seiring dengan menjauhnya diriku dengan pria itu. Dugaanku salah.
Sepanjang jalan menuju WC, aku terus merasakan pria itu mengoles-oles
jarinya di sepanjang bibir kemaluan istrinya. Sedikit demi sedikit
jarinya semakin masuk lebih dalam. Cukup sudah, pikirku. Hentikan! Aku
tak tahan lagi terhadap gemuruh birahi dalam tubuhku.
Aku merasa liang kewanitaanku menjadi agak basah. Aku hampir tidak
pernah ‘basah’ di bawah sana bahkan pada saat sedang berciuman dengan
Michael. Paling sesekali aku menjadi ‘basah’ pada saat sedang memberikan
‘hand-job’ pada Michael.
Pintu WC kubuka dan aku lega karena tidak ada orang di dalamnya. Aku
masuk ke salah satu ruang toilet dan segera menguncinya. Pada saat
itulah aku tersentak karena kaget dan sedikit sakit. Pria itu memasukkan
jarinya ke dalam vagina istrinya. Aku merasa jari itu begitu besar dan
panjang seakan menyentuh ujung rahimku. Untuk sesaat jari itu tidak
bergerak di dalam vagina istrinya. Bukan hanya jari itu yang tidak
bergerak, tubuhku juga tidak bergerak karena shock.
Aku merasakan jari pria itu jelas-jelas menembus liang kewanitaanku yang
berarti selaput daraku sudah sobek. Setelah dapat menguasai diriku
kembali, aku segera membuka celana jeansku untuk melihat apakah ada
darah yang keluar dari kemaluanku. Tidak ada. Tidak ada bercak merah
pada celana dalamku. Yang ada hanya cairan bening (agak putih) yang
keluar dari kemaluanku sebagai pelumas.
Tak lama setelah itu, secara perlahan ia menggerak-gerakkan ujung
jarinya seperti sedang mengorek-ngorek. Kakiku menjadi lemas seakan
berubah menjadi agar-agar. Aku segera duduk di closet untuk menenangkan
diri.
Nafasku semakin memburu. Desahan demi desahan keluar dari mulutku
seiring dengan gerakan ujung jari itu. Seluruh tubuhku terasa panas dan
gerah.
Gerakan jari pria itu sekarang berubah menjadi gerakan maju dan mundur.
Gerakannya sangat pelan namun sensasi gesekan kulit jari pria yang besar
itu terasa begitu jelas pada dinding vaginaku. Seakan jari pria itu
benar-benar maju mundur dalam diriku.
Bersamaan dengan itu, aku mendengar pintu WC dibuka dan terdengar
seseorang masuk. Aku menutup kuat-kuat mulutku sendiri dengan kedua
tanganku. Aku tidak ingin orang lain mendengar aku mendesah-desah di
dalam toilet.
Sulit sekali menghiraukan rangsangan yang begitu hebat yang melanda
tubuhku saat itu. Aku berkali-kali harus menggigit bibir bawahku agar
tidak bersuara.
Pria itu sedikit mempercepat gerakan jarinya namun semakin lama hujaman
jarinya itu terasa semakin mendalam. Pintu WC kembali dibuka. Aku masih
menekap mulutku dengan kedua tanganku sambil mendengar apakah benar
orang yang tadi masuk sudah keluar (atau jangan-jangan ada orang lain
lagi yang masuk ke WC).
Setelah memastikan tidak ada orang lain di dalam WC, aku melepaskan
kedua tanganku dari atas mulutku dan kembali ‘bersuara’. Rupanya pria
itu sudah tidak memain-mainkan payudara istrinya karena aku baru saja
merasakan tangan yang satunya memilin klitoris istrinya. Saat itu pula
aku mengerang keras (aku tak peduli lagi apakah ada yang mendengar).
Luar biasa! Benar-benar luar biasa! Aku bergetar karena terangsang dan
juga malu karena menikmati semua itu. Jika aku tidak berkeinginan kuat
untuk memegang komitmen menjaga keperawananku sampai menikah, aku
benar-benar ingin mencoba berhubungan sex dengan Michael setelah ini.
Pria itu menghujamkan jarinya dalam-dalam dan diam tidak bergerak. Lalu
ujung jarinya bergetar-getar kecil. Wow, aku benar-benar dibawa
melambung semakin tinggi. Lalu seperti tiba-tiba, pria itu mengeluarkan
jarinya. Dalam hatiku berkecamuk perasaan antara lega dan kesal karena
semua itu kelihatannya sudah berakhir.
Aku terdiam. Dorongan sexual masih berkobar dalam diriku. Namun aku
terus berusaha untuk menurunkan tekanan dalam diriku itu. Lima menit aku
seperti terkulai lemas tak berdaya duduk di closet sambil
mengejap-ngejapkan mataku dan mengatur nafasku yang menderu-deru.
Pada saat aku masuk ke bioskop kembali ke tempat dudukku, aku hampir tak
berani menatap pria itu. Dari ujung mataku aku merasa ia memandangi aku
dengan senyum penuh kemenangan. Segera aku duduk dan memeluk lengan
pacarku.
Dua puluh menit kemudian film berakhir. Aku mengajak Michael untuk
segera meninggalkan ruangan itu sehingga tidak perlu bertatapan dengan
pria di sebelahku. Michael menurut saja.
Akhirnya kami bergabung dengan gerombolan orang-orang yang berdesakan
ingin segera keluar dari bioskop. Pria itu dan istrinya tidak beranjak
dari tempat duduknya. Betapa leganya aku mengetahui semuanya itu sudah
berakhir.
Namun sekali lagi aku salah. Setelah keluar dari ruangan itu, kami tidak
langsung pulang (walau sudah malam). Kami berjalan-jalan di mall.
Kebetulan aku hendak membeli kemeja untuk kerja (maklum aku baru kerja
satu bulan).
Sekitar satu jam setelah keluar dari bioskop, selagi kami berjalan-jalan
di Departemen Store, tiba-tiba aku mulai merasakan sensasi seperti tadi
di dalam bioskop. Payudaraku terasa seperti diremas-remas. Kali ini
remasan itu terasa pada kedua payudaraku.
Hatiku mencelos dan berpikir jangan-jangan pria itu kembali bercumbu
dengan istrinya. Namun kali ini ia melakukannya tanpa ‘foreplay’
terlebih dahulu.
Hanya selang beberapa menit aku kembali dikuasai oleh birahiku yang
meletup-letup. Michael yang kugandeng sedari tadi belum menyadari
perubahan pada diriku.
Namun pada saat aku merasakan jari pria itu menyentuh kemaluan istrinya,
aku terdiam dan berdiri tegang. Michael tersentak karena aku berhenti
secara tiba-tiba. Ia menanyakan ada apa. Aku belum bisa menjawabnya.
Mulutku kelu dan hatiku berdebar keras. Aku hanya dapat berharap ia
tidak mendengar dentum jantungku.
Sepuluh detik kemudian aku memberi alasan bahwa aku teringat akan suatu
hal namun sudah lupa lagi saat itu. Michael tampaknya mempercayainya.
Jari pria itu secara perlahan membuka mulut bibir vagina istrinya, aku
dapat merasakan tiap sentuhannya. Dengan sangat amat perlahan jari itu
menembus masuk ke dalam liang kewanitaannya. Aku harus berpegangan erat
pada rak (tempat digelarnya baju-baju obral) agar tidak jatuh. Michael
masih tidak memperhatikanku.
Jari itu terasa begitu besar bahkan terasa lebih sakit dari saat jarinya
pertama kali menembus vaginanya tadi di bioskop. Tiba-tiba aku baru
menyadari bahwa yang masuk ke dalam liang kewanitaannya itu bukanlah
jari melainkan penis.
Memikirkan hal itu membuat jantungku seperti dihempas dari atas gedung
lantai 10. Seperti inikah rasanya bila penis seorang pria menerobos
masuk ke dalam diriku. Sakit. Otot-otot vaginaku terasa seperti akan
robek.
Detik-detik berikutnya sama sekali tidak dapat kuduga bahwa ada sensasi
yang begitu nikmat dalam hidup. Pria itu menggerak-gerakkan penisnya
maju mundur. Bersamaan dengan itu, ia memain-mainkan klitoris istrinya.
Serta merta lututku langsung terasa hampa dan aku terpuruk jatuh ke
lantai seperti boneka tali yang diputuskan tali penyangganya. Michael
panik melihat diriku yang terjatuh itu, namun tidak sepanik diriku.
Beberapa orang di sekitar kami, memandangi aku dengan pandangan bingung.
Aku berusaha bangun tapi sensasi kenikmatan itu terus menghantam diriku
bertubi-tubi sehingga semua usahaku sia-sia. Rasa takut dan malu mulai
menyelimuti hatiku. Jangan sampai orang-orang itu tahu apa yang sedang
terjadi. Oh Tuhan, apa yang sedang terjadi pada diriku, aku membatin.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku mulai berdoa, meminta ampun pada
Tuhan dan mohon pertolonganNya. Sekejap mata semua sensasi itu lenyap
musnah.
Michael sudah berhasil memapah aku untuk berdiri. Aku juga sudah dapat
menguasai diri lagi. Sebelum sempat ia bertanya, aku memberi alasan
bahwa aku kurang enak badan dan minta segera diantar pulang.
Sesampai di rumah Michael kusuruh segera pulang (karena sudah larut
malam). Aku segera masuk ke dalam kamar dan bersiap tidur. Aku kembali
memikirkan apa yang terjadi tadi. Malam itu aku mendapat pengalaman yang
benar-benar tak dapat kulupakan.
Aku tahu aku masih perawan (secara fisik) namun secara batiniah aku
merasa keperawananku telah direnggut oleh pria itu. Walaupun begitu aku
bersyukur tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk tadi. Aku juga berjanji
untuk lebih mempertebal imanku sehingga tidak mudah diguna-guna oleh
orang lain.
Anehnya terlintas sekelebat di benakku agar dapat merasakan kembali apa
yang telah aku rasakan di mall tadi. Apa ruginya, pikirku. Selaput
daraku masih utuh namun aku dapat merasakan nikmatnya berhubungan sex
dengan pria. Namun mengingat janjiku kepada Tuhan barusan, aku membuang
jauh-jauh pikiran itu.
Sekarang aku tidak lagi menilai diriku sebagai wanita frigid. Aku merasa
nyaman dengan sexualitas diriku dan kini aku lebih terbuka akan hal-hal
yang berbau sex. Tetapi aku tetap saja menerapkan sistem berpacaran
yang ketat dan konvensional pada Michael, pacarku.
Sampai saat ini pun, aku tidak menceritakan pengalamanku itu kepada
Michael. Ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan tak diucapkan, menurutku.